Skip to main content

Mengapa Digital, bukan Analog?

Sebelum mengulas bersama tentang sistem digital, pengertian mengenai sistem analog dan digital penting untuk dimengerti. Berhubung saya bukan ilmuwan ilmu pasti, dan tidak mahir dengan formula Matematika, penjelasan ini lebih mengacu pada contoh dan aplikasi.

Sejak SMP, kita belajar tentang gelombang. Saya akan mengambil contoh: gelombang suara. Gelombang suara adalah contoh sumber sinyal analog. Kontinu. Tidak terputus-putus.  Gambar di bawah ini adalah ilustrasi sinyal suara yang direkam atau ditangkap oleh osiloskop.

Source: pixabay (and edited)

Kalau kita tambahkan sumbu y (vertikal) sebagai amplituda atau nilai sinyal suara (biasanya dalam satuan miliVolt) dan sumbu x (horizontal) sebagai waktu, pengertian kontinu adalah: setiap titik waktu, punya nilai amplituda. Titik waktu ini kalau kita perbesar atau zoom-out bisa tidak terbatas, bukan lagi 1 detik, tapi 0.0000000000001 detik, dan seterusnya! Bayangkan betapa repot dan besarnya data jika kita mau menyimpan satu audio dalam bentuk analog. Data yang harus kita simpan jumlahnya tak hingga. Bukan hanya masalah waktu yang kontinu. Besaran amplituda (arah sumbu-y) juga kontinu.

Dari analog, muncul terminologi digital. Mengacu pada arti kata dari Oxford dictionary: expressed as series of the digits 0 and 1, typically represented by values of a physical quantity such as voltage or magnetic polarization. Kata kunci: menggunakan 0 dan 1 untuk menyatakan sebuah nilai. untuk mengkonversi nilai amplituda analog ke digital, saya rasa saya membutuhkan tempat di artikel selanjutnya (janji saya kepada diri sendiri). Di sini kita akan sama-sama terlebih dahulu memahami sistem digital secara umum.

Berbicara tentang digital, kita juga akan sering mendengar tentang discrete. Berdasarkan Oxford dictionary: individually separate and distinct.

Langkah selanjutnya adalah mentransformasikan sinyal analog menjadi sinyal digital. Transformasi dilakukan oleh Analog-Digital Converter. Penjelasan lebih lanjut, bisa dilihat dari link Wikipedia berikut ini.

Mengubah sinyal analog menjadi sinyal digital dibutuhkan satu variabel: frekuensi sampling. Artinya, kita tidak lagi mengambil atau mengamati setiap titik amplituda di variabel waktu yang tidak terhingga. Tapi mengambil sample setiap rentang periode sampling (T). Jika T = 1 detik, maka frekuensi sampling adalah fsampling = 1/T = 1/1 detik = 1 Hertz.


Contoh standard untuk sampling sinyal audio ditujukan untuk pengolahan audio dalam sistem komunikasi: algoritma kompresi GSM. Algoritma kompresi GSM membutuhkan frekuensi sampling 8000 Hertz, atau 8000 data per detik. 

Apakah semua 8000 data ini disimpan? Tidak. Dengan kehebatan dan kejeniusan para ilmuwan, mereka mempelajari karakteristik suara manusia, dan akhirnya dengan perhitungan luar biasa, mereka mengambil 200 nilai dari hasil pengolahan 8000 data. 200 data ini akan dikirim dari telepon sumber suara, ke telepon penerima. . Telepon penerima akan mengurai kembali 200 data menjadi 8000 data per detik. Pengurai ini disebut algoritma dekompresi. Tentunya data tidak lagi 100% sama. Dari data tak hingga, kita mengambil hanya 8000 data per detik. Berarti ada data yang hilang. TAPI, dengan perhitungan canggih tadi, telinga manusia masih bisa mengenali karakter suara, dan pesan yang ada di dalamnya.

Mengapa harus sedikit? Kompresi dibutuhkan agar transmisi suara untuk telefon lebih efisien dan cepat. Bisa dibayangkan kalau suara yang kita kirim lewat telefon tidak dikompresi, dibutuhkan waktu sangat lama, sehingga akan ada selalu jeda untuk menunggu suara kita sampai di tujuan, dan menerima suara balasan kembali.

Baiklah... saya harap tulisan ini bisa memberikan gambaran mengapa dunia digital besar jasanya untuk kehidupan manusia di jaman sekarang ini. Banyak topik yang tidak bisa dijelaskan langsung di artikel ini: menentukan frekuensi sampling, ADC, sistem kompresi, sistem dekompresi… Doakan semoga semangat saya terus ada untuk mencantumkan pengalaman saya dengan hal-hal tersebut di artikel selanjutnya.

Semoga bermanfaat!

Comments

  1. sungguh informativ. terimakasih buat penulis yang super kece.

    ReplyDelete
  2. Artikel ini membuka wawasan baru dan memacu nalar serta logika analitis saya mengenai dunia analok dan dijital.
    Makasih ya...
    Ditunggu artikel2 berikutnya....

    ReplyDelete
  3. Penjelajah antariksaOctober 23, 2017 at 6:52 PM

    Bagus sekali untuk org awam, spy bs lebih mengerti tentang dunia elektronik. Kudos.
    Semoga next nya bisa tetap dikemas dgn bahasa yg sederhana dan mudah dipahami.

    ReplyDelete
  4. Vavaaa, yaampun selama ini cuman bisa memicingkan mata (bingung maksudnya) kalau jurusan tetangga udah mulai ngomong 0 dan 1, ternyata setelah blog ini bahas tentang telepon, baru sadar apa arti 0 dan 1 dalam berbagai aplikasi di sekitar kita yang menggunakan frekuensi.
    *thumb up* buat pemilihan kalimatnya supaya mudah dimengerti.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Realisasi Bilangan Biner Menjadi Sinyal Digital

Setelah mengulas bagaimana kita mentransformasikan bilangan desimal menjadi bilangan biner , pada tulisan ini akan diulas bagaimana kita merealisasikan bilang biner menjadi sinyal digital. Karena sinyal digital ini adalah nilai nyata yang digunakan di dalam perangkat elektronik yang kita gunakan. Bilangan biner hanya memiliki dua nilai, 0 dan 1. Pada dunia nyata, nilai 0 dan 1 direalisasikan pada umumnya dengan nilai tegangan 0 dan 3 Volt. Mari kita ambil contoh sederhana: bagaimana merealisasikan nilai pengukuran antara 0 - 15 Volt dengan bilangan biner? Bilangan desimal 0 - 15 memerlukan representasi 4 bit bilangan biner. Tabel di bawah ini menguraikan setiap nilai analog 0 - 15 ke dalam 4 bit bilangan biner. Realisasi sinyal digital sebenarnya juga adalah sinyal analog yang nilai amplitudanya hanya 2, yaitu 0 dan 3 Volt. Pada gambar sinyal di bawah ini, nilai 0 Volt ditunjukkan dengan garis hitam, dan nilai 3 Volt ditunjukkan dengan garis merah. Dengan demikian, nilai 0 ...

Pendahuluan dan Perkenalan

Blog ini bukan ditujukan untuk menggurui, tapi untuk membantu si penulis mengulang kembali teori dasar mengenai Sistem Digital, mata kuliah yang ia tempuh sepuluh tahun lalu. Sebutlah blog ini sebagai pemenuhan janji kepada dirinya sendiri untuk berbagi atas apa yang telah ia dapatkan selama ini. Halah, cukuplah sok berpuitis. Nama saya Vava (Fafa, Fava, Vafa, apapun tak apa, karena kalau dibaca akan sama bunyinya). 10 tahun lalu jadi kenangan tak terlupakan, karena akhirnya saya resmi mendapat Nomor Induk Mahasiswa (NIM) 132 07*** di Kampus Gajah. Gedung Labtek VIII, Desember 2015 (foto sendiri) Bayangan pertama mengikuti setahun Tahap Pembelajaran Bersama (TPB), di program studi Teknik Elektro ini, saya akan berhadapan dengan rangkaian dengan banyak resistor dan kapasitor, lalu tugas saya menghitung arus dan tegangan. Betul. Tapi lebih dari itu. Di semester ketiga, saya mendapat mata kuliah wajib, tahun itu namanya Sistem Digital. Tiba-tiba dunia berubah. Hitungannya...